Minggu, 16 November 2014

Cara Membuat Web Server

Web server ialah server Internet yang mampu melayani koneksi transfer data dalam protocol HTTP. Web server merupakan hal yang terpenting dari server di Internet dibandingkan server lainnya. Hal ini disebabkan web server telah dirancang untuk dapat melayani beragam jenis data. Web server juga dapat menggabungkan dengan dunia mobile wireless internet atau yang sering disebut sebagai WAP ( Wireless Access Protocol ), yang banyak digunakan sebagai sarana handphone yang memiliki fitur WAP. Dalam kondisi ini, webserver tidak lagi melayani data file HTML tetapi telah melayani WML ( Wireless Markup Language ). 
Salah satu software yang biasa digunakan oleh banyak web master di dunia adalah Apache .
Apache merupakan sebuah web server open source,jadi semua orang dapat menggunakannya secara gratis,bahkan anda bisa mengedit kode programnya.fungsi utama dari Apache yakni menghasilkan halaman web yang benar sesuai dengan yang dibuat oleh seorang web programmer,dengan menggunakan kode PHP.
Salah satu aplikasi server localhost dan yang paling banyak digunakan adalah XAMPP. XAMPP sendiri ada dua macam, yakni paket komplit dan satunya lagi adalah paket portable lite. 
XAMPP paket komplit itu isinya adalah:
  • Apache
  • MySQL
  • PHP
  • phpMyAdmin
  • FileZilla FTP Server
  • Tomcat
  • Strawberry Perl Portable
  • XAMPP Control Panel
Sedangkan XAMPP Portable Lite isinya hanya aplikasi PHP dan MySQL, lebih enteng dan cocok buat yang sering memakai kedua aplikasi tersebut.

Joomla! adalah salah satu aplikasi yang digunakan untuk membuat atau membangun sebuah website dinamis yang dilengkapi berbagai fasilitas yang mendukungnya. Joomla! termasuk dalam kategori aplikasi CMS (Content Management System) open source, artinya dapat Anda pergunakan dengan sebebas-bebasnya atau bebas untuk mengoperasikannya.

Cara Instal XAMPP dan JOOMLA pada Windows

  • Download aplikasi XAMPP
  • Setelah mendownload simpan pada local disk C
  • Install XAMPP dengan mengklik ''yes to all''

  • Pada xammpp buka file thdodocs kemudian buat folrder ''selvi'' kemudian masukkan file joomla ke folder selvi - klik kanan extract here


  • Hapus file joomla pada folder ''selvi'' 
  • Buka Xampp kemudian klik start pada Apache dan Mysql 
  • Buka Mozilla Firefox, pada saat masuk ke halaman joomla maka pilih bahasa sesuai dengan keinginan anda dan klik next
  • Klik Next 


  • Klik Next hingga pada gambar di bawah ini : 
  • Kemudian isi data berikut : 

  • Kemudian isi nama situs yang diinginkan serta masukkan alamat email anda 


  • Dan joomla telah berhasil di pasang :)









Kamis, 06 November 2014

Semesta tak melulu sesuai rencana



“Cinta urusan langit, jadi bagaimana mungkin kamu sekarang mengambil alih tugas tuhan? Membuatkan skenarionya? Membuatkan kisah cintanya? Tidak peduli sehebat dan senyata apapun skenario tersebut”

Kepada rindu; sukar ‘tuk meninggalkanmu


Hanya kata yang mampu tersimpan dikepala
lalu, perasaan hanya mampu ku batinkan
teruntuk waktu yang terlanjur membawaku jauh
memohon untuk jangan terlalu jauh
Mungkin kau tak perlu tahu
jika separuh hatiku menjauhimu
separuh lagi, entah
mungkin tertahan tak tentu
Kepergian selalu beriring kepulangan
raga hanya bisa bepergian
namun tidak dengan jiwa yang tertanam
tiada semampu itu untuk meninggalkanmu
Rindu yang telah menjadi kawan setia
Agar air mata tak jatuh tanpa alasan, dengan sia-sia

Mencandui bisu


Teruntuk kamu yang berada jauh dari pelupuk mataku
Hai, kamu yang tak pernah mampu aku miliki
Bagaimana dengan kabamu? Semoga baik saja dan tetap sebagaimana harapku
Aku menulis ini untukmu, teruntuk kamu yang candu akan bisu
Yang aku tulis ini perihal rindu, rindu yang sejatinya menuntut oulang padamu
Rindu yang tak bermuara pada suatu tempat temu dan titik penyatuan
Rindu ini akan tetap menggebu dan selalu menyesekan  relung hati yang (sebenarnya) telah penuh oleh rindu-rindu sebelum ini.
Kamu,
Semoga kelak kita bisa bertemu, aku ingin menumpahkan segala yang kusebut rindu beku ini dan akhirnya bisa melebur menjadi satu bersama harapan-harapan memilikimu.
Sebab saya tak ingin mencanduimu dengan bisu.
                                                                             — Teruntuk kau, yang aku candu dalam bisu

Bahagia kita, berbeda.


Teruntuk hati yang pernah aku singgahi, maaf untuk segala ketololan ku
Pun, terima kasih atas segala kebahgiaan tak terbatas yang kau suguhkan.
Jika kau percaya kebahagiaan itu ada di tanganmu, genggamlah jika belum sempat kau raih
Pergilah, kau! Tak akan nada yang menahanmu, saya pun tak berhak.
Entah sejak kapan saya merasa kau tidak pernah bahagia
Dan, perasaan itu tak mungkin aku berego untuk bahagia sendiri
Sabarlah. Kamu mau kita bahagia, atau kita pernah bahagia? Pilihlah yang menurutmu akan membahagiakanmu.
Sebab, aku ingin kamu bahagia dan begitupun aku, aku juga ingin bahagia.

Setelah ini, akan ada yang hilang. Entah

Teruntukmu…
Maaf, sebab saya tak lagi berjuang untukmu, walaupun dalam diam
Ini bukan anganku, tuntutan hati yang sebenarnya ingin ku tepis
Terkadang hati dan pikiranku berkecamuk, hati yang selalu ingin tetap memperjuangkanmu dan logika yang selalu ingin melepasmu
Berjuang dengan teguh tanpa kau ketahui, sungguh ini hal bodoh
Cinta tak melulu soal ungkapan, sebab kini saya pun telah membuktikannya
Memilih bungkam atas rasa ku sendiri ternyata tak se-sederhana itu
Kenyataan kau lebih memilih untuk tidak menoleh atau bahkan hanya sekedar menanyakan sebuah rasa
Lihatlah, kau begitu sibuk memperjuangkan dia, dia yang sejatinya juga berjuang atas orang lain yang bukan dirimu
Dia menjadikanmu sebuah pilihan, pun hanya saat dia membutuhkanmu
Tak inginkah kau menjadikan dirimu sebuah prioritas, walaupun bukan sebagai prioritasnya?
Sebut ini sebuah Ke-putus-asa-an yang lelah berjuang atas dirimu.
Suatu waktu, semoga kau mampu menemukan Rumah Hati yang sejatinya akan merasa beruntung menjadikanmu sebagai ‘Penghuni’.
Terima kasih telah mengajarkan perihal sabar dan ikhlas.

Rumah hatiku; kamu.

Aku menyebutmu sebuah rumah, bukan sebuah persinggahan. Kamu menyamankan segalaku. Kamu adalah sebaik-baiknya alasan dibalik kepulanganku. Melihatmu ada disana saja sudah sangat meringankan bebanku. Melewati malam-malam sulit, lalu menghabiskan berjam-jam dalam diam, pun percakapan kecil yang sederhana namun membuat nyaman dan tidak menyesakkan.
Terlalu tinggikah jika bahagia yang paling sederhana buatku itu kamu? Terlalu egoiskah jika aku hanya ingin kamu, bukan yang lain?
Sebab dalam dekapmu, kesedihan yang membuncah seakan lelap tertidur. Rasa nyaman yang sulit aku ungkapkan dengan dengan tenang telah me-ninabobo-kan gundahku. Perlakuanmu yang magis mengubah tangis menjadi tawa yang paling manis. Kamu adalah satu-satunya orang yang mampu membuat saya jatuh hati berkali-kali dan patah hati lebih dari berkali-kali.
Aku terlalu bahagia, sampai melupakan satu hal, mempertanyakan satu hal yang paling fatal membuat segala luka menjadi kekal.
Termasuk apakah aku untukmu?
Rumah ataukah hanya tempat singgah?
Pun, tanpa harus mencari rumah hati yang lain. Bolehkah aku tetap menyebutmu rumah? Tempat sebaik-baiknya hati ini menetap. Tempat aku mengirim rindu meski jarak merentangkan segala asa ku.
Dan…tempat kemana hati yang lelah ingin selalu pulang. 

Rumah, katanya.



Syukuri, inilah rumah yang telah tuhan hadiahkan untukmu. Pun, benak dan hatimu selalu menegaskan untuk mengelak “Ini tak pantas disebut rumah!”
Bagaimana mungkin, perihal rumah adalah tempat yang katanya ternyaman, bahkan terdamai untuk sebuah kepulangan, untuk melepas kepenatan lalu  berubah menjadi tempat yang tak lebih bak neraka bagimu.
Sudikah kau berpikir beribu-ribu kali untuk menyebut singgasana itu sebagai ‘Rumah’? Pikirkanlah

Bahkan, sebelum kata terucap


Untuk suatu malam disebuah kota yang kehilangan cahaya, tersebutlah saya sedang bertanya pada langit redup yang tak berbintang, Tidakkah kau merasa kita begitu dimanja takdir? Berjumpa, tertawa, bersedih lalu berpisah. Namun tanpa sadar saling rindu dan enggan untuk menjadikannya satu arau bahkan hanya sekedar untuk berbagi.
Sebab tiadalah hal yang lebih manjur untuk mengobati dinginnya perpisahan selain merindu dan bersabar. Setiap perpisahan selalu menyisakan rasa asing dalam masing-masing kita. Sadarilah, keterpisahan tidak melulu tentang kenangan dan air mata.
Adalah menyadari bahwa pada hakikatnya keterpisahan hanyalah tipu daya waktu . perihal waktu yang tak seorang pun bisa mengatur atau hanya sekedar untuk bermain dengannya.
mempertanyakan mengapa harus ada ‘Perjumpaan’ bila berujung ‘Perpisahan’ adalah sebuah kepengecutan. Lalu cinta, juga kebahagiaan yang mengikutinya bukanlah untuk para pengecut. Ia adalah hjadiah yang di peruntukkan kepada para pemberani. Berani berjuang, berani berdoa, berani mnegikhlaskan, berani mengakui tanpa harus membodohi perasaan sendiri dan tentu berani menanti tanpa pamrih, tanpa harus merasa disakiti. Sebab tak ada kebahagiaan tanpa keberanian, hanya sebagian yang memilikinya.
Sudahlah…ini terlihat seperti omong kosong. Haruskah setengah kehidupanku aku habiskan untuk memikirkanmu? Atau bahkan terjebak dalam ingatan yang melulu tentangmu?
Bila kita merasa takdir tak memanjakan kita lagi. Bila keterpisahan ini bukan tipu daya. Bagiku, rasa itu akan tetap ada. Semoga keterpisahan ini kelak bisa menyatukan kita lagi.

Luka…


Luka
Tak berdarah bukan berarti luka, sama halnya menangis tak selamanya harus berlinang air mata. Menikmati luka yang dicipta tanpa keluh kesah, Menikmati perih tanpa merintih. Dan dalam keterdiaman, hanya doalah yang bisa meredakan; kelak luka ini sembuh akan sembuh dengan sendirinya.


Tak Ada yang mencintaimu Seperti Aku


Tangan-tangan yang bergerak menarikku menjauh. Semburat merah menyembur dari dadamu. Kucoba membaca goresan luka di tubuhmu. Tak ada yang mencintaimu sebesar aku mencintaimu, kalimat yang berulang terus-menerus di otakku itu menggema kan teriakan yang tersumbat dalam tenggorokanku
Tidak banyak yang bisa kuberikan padamu. Hanya hati ini. Itupun kau buang dan sia-siakan. Sesungguhnya, tidak pernah ada keinginan dalam diriku selain menjadi bagian dari dirimu.

Rabu, 05 November 2014

Halo



Halo untuk mu yang kesekian kalinya..
Terima kasih untuk mu yang tak pernah sekalipun membiarkanku untuk lupa, lupa atasmu. Apalagi untuk melepasmu. Dendam? Tidak. Rindu? Pasti. Bukankah kau sudah tahu, aku  telah terlatih menyimpan rindu untukmu, juga telah tertatih.
Sedari dulu kita telah sepakat atas jarak yang membentang, memilih untuk memelihara  diam yang sesunyi mengkin. Memilih membiarkan luka tetap menganga dan menjadi seburuk mungkin agar kita punya alasan kuat untuk melupa. Lalu apa? Jarak tak ada artinya bagiku. Sunyi hanya meneriakkan rindu, bahkan teriakannya lebih gemuruh dari yang ku lakukan. Sedangkan luka, luka ialah singgasana kita bertukar peluk, dan tempat kita saling menggenggam  sepanjang malam.
Sering aku meracau tentangmu, menyeka rindu lalu keterbangkan ke angkasa. Ku biarkan ia bergabung bersama angan ku yang telah ku terbangkan lebih dahulu. Terpikir oleh benak ku, berapa lama lagi yang kubutuhkan untuk menunggu, menunggu agar mereka jatuh menjadi rintik hujan di dadamu? Aku lelah terbangun dalam tidur ku, dan lagi-lagi harus menemukan kenyataan bahwa kau begitu jauh. Namun diam yang yang ku genggam masih kukuh bersemayam.
Sudahlah, jika aku harus memilih takdir. Aku ingin kita berada dalam satu garis lurus yang sejajar.

Selasa, 04 November 2014

Sebelum kali pertama


Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Serupa dengan  hal  yang sudah kau rasakan sendiri atau hal yang hanya diberitakan oleh Ibu dan Ayahmu sebelumnya.
Atau rasa yang kau kecap diam-diam, dengan dalam, lalu dengan segera kau artikan sebagai cinta.
Atau ketika kau menghisap rokok pertama dalam hidupmu, kemudian bertemu candu yang tiada akhir, lalu memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.
Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Serupa bibir yang saling mengecup dan kau bilang itu ciuman paling indah yang pernah kau sesap. Padahal sebelumnya kau tak pernah punya kecupan yang lain
Pun, dekapan yang kau sangka rumahmu sebagai lengan, padahal ia tak lebih dari tangan mampir di pundak saja.
Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Serupa dengan tangismu yang berderai hingga kau kira hendak runtuh segala semestamu serta serakan-serakan perasaanmu di gunungan tissue di sudut kamar.
Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Serupa kau mencintai seseorang yang menurutmu adalah paling tulus tanpa memedulikan perihal sekitarnya, sebab yang kau tahu hanya mencintainya dengan dalam kemudian tidak menuntut pertanggungjawaban ketika ia tak mencintaimu kembali selayaknya kau mencintainya.
Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Serupa saat kau membiarkan seseorang membuatmu jatuh hati dengan hebatnya, kemudian kau dengan segala asa yang pupus tak mampu menghukumnya karena ia yang membuatmu jatuh juga tak mampu menangkapmu dengan tepat.
Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Serupai mencintai orang lain setelah kau memutuskan dirimu sudah punya kekasih sebelumya, lalu kemudian adegan tertangkap-basah-mu melengkapi semuanya dan hubunganmu berakhir sudah.
Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Serupa apa-apa yang kau sangka tiada. Lalu akhirnya kau menyadari bahwa hanya karena sesuatu belum pernah kau temui bukan berarti ia tidak ada sebelumnya.
Dan yang terakhir…
Sebelum kau menjadi tahu akan segala hal,
Akan selalu ada yang pertama,
Seperti saat dimana telah kau temui dua, tiga, atau bahkan entah kali ke berapa lagi.
Kau akan jatuh cinta pada orang yang sama, orang yang pasti,  seperti kali pertama kau menjumpainya.

Kepada yang sempat lekat


Bukan aku mulai melupakan, apalagi melepaskan. Hanya saja, aku lebih memilih untuk berhenti mengingat apa yang telah lalu. Buatku, terutama mungkin juga buat mu. Kita pernah menyebut indah atas segala hal yang pernah kita punya. Sederhana, memang. Serupa kupu-kupu yang sedang sibuk beterbangan di perutku atau denyar di kulitku saat kita bersentuhan. Entah bagimu, mungkin ada beduk bertalu di dadamu dan pening di kepalamu ketika hanya ada peluk yang sudi menjadi simpangan.
Namun itu dulu.
Sesaaat sebelum kita masih bebas tanpa belenggu dan belum ingin saling cemburu. Dengan duduk manis saling pandang dan tatapan malu-malu.
Kita belum tahu benar apa itu Cinta, dengan segala konsekuensi yang kerap kali dibawanya. Yang mampu kita ucap ialah menikmati setiap waktu tanpa harus bermewah-mewah, duduk berdua di sudut kedai kopi yang menawarkan kopi berkualitas tinggi serta dengan harga yang selangit. Katamu kau tak membutuhkan hal serupa itu, katamu yang kita butuhkan hanya sepasang kita dan sepotong senja yang ranum diujung dermaga. Lalu ombak-ombak kecil datang menyapa, meratakan rumah pasir yang sedari tadi dibuat oleh beberapa anak di bibir pantai sana. “Anak-anak itu sepertinya harus mengikhlaskan rumah pasirnya di sapu oleh ombak hahaha” kau lirih sembari terkekeh. “Ya, seperti itu harusnya, apa yang kita kira akan tangguh sepanjang masa ternyata harus kita relakan porak poranda pada waktunya” sambung ku dan kau memilih bergeming, menatapku dalam-dalam.
Segala hal yang kita kira akan berlangsung selamanya ternyata hanya bertahan sementara. Saat itu aku sadar betul, tak perlu ada dirimu untuk membuatku bahagia selalu. Aku tak cukup mencintaimu untuk menukarkan kebebasan dengan kelekatan. Aku tak cukup mencintaimu untuk menanggung segala tumpukan kekhawatiran yang kian tumbuh subur kemudian membuatku serapuh ini.
Kepada segala yang sempat lekat, engkau perlu tahu satu hal
Bahwa aku memilih untuk berhenti mengingat.
Sebab denganmu,
Aku bahkan tak lagi mengenali siapa diriku
Aku bahkan hilang arah kemana hendak ku jadikan sebagai tujuan
Aku bahkan menjelma polos dan lugu, tak tahu akan dunia yang lebih besar dari kita di luar sana.
Maka sekiranya, pun setidaknya buatku, jika aku mulai melupakan apa yang memang seharusnya menjadi kenangan.

Tanpa Judul


Kita terlalu gemar melukai; menyayatkan ucapan-ucapan tajam serta melukai dalam-dalam.
Kita saling menyayangi namun dengan cara yang begitu keji.
Lalu, lari dengan caranya sendiri.
Kerap kali merakit bom waktu yang telah meledak berulang kali,
Hanya untuk sebuah pelukan dan sakit hati di lain hari.
Kau bilang aku terlalu drama dan picisan.
Aku bilang kau begitu idealisme dan gila kehormatan.
Kau bilang aku gadis ingusan.
Aku bilang kau lelaki tidak pengertian.
Kita saling memberikan umpatan;
pun cacian dan makian.
Tak ada yang bisa kita perbuat selain pertikaian.
Kita banyak berprasangka buruk, dan tidak ada satupun yang prasangka baik darinya.
Kau telah merasa dirimu baik, sedang aku rasa kau terlalu picik.
Aku merasa telah mengertimu begitu cukup ; Kau selalu bertahan dengan abu-abu yang tak cukup.
Kita ialah sebaik-baik semu yang tidak akan pernah kenal temu.
Parahnya adalah kita bersampingan ketika dengan satu waktu segala hal saling bersimpangan.
Hidup itu adalah kotak kejutan;
Ia tak segan akan membawa kita kedalam perkara-perkara sulit.
Lebih sulit dari harus menghitung berapa banyak bulir air yang jatuh setiap hujan deras.
Lebih mudah dari harus menghitung berapa jumlah air mata yang jatuh ketika kita saling bersikeras.
Perihal risau. Aku dan kau.
Tidak akan pernah selesai, tidak akan pernah menemui usai.
Meski Tuhan merapal hingga sengau.

Siapa Aku?



Aku ialah ia yang tidak pernah kau cari, bahkan kerap kali kau abaikan hingga kau anggap aku hilang hingga tak terjamah. Padahal aku tidak pernah beranjak ke mana pun. Hanya saja kau yang lupa menyimpanku di mana, kau terlalu sibuk dengan keluh kesahmu, padahal denganku kau mungkin bisa mendapatkan apa yang kau keluhkan saat semesta tak mau mendengarkan.
Aku ialah jemari-jemari kurus yang luput dari genggamanmu, mungkin karena aku kurus maka dari itu kau lebih suka mengacuhkan aku di sudut perhatianmu dan mengabaikan ku kala semesta sedang tidak berpihak padamu, lalu mengingatkanku membawa serta aku ketika kau hendak bepergian. Setidak-pantas itu kah aku ikut serta menemanimu dan bahkan hanya untuk membantumu sesekali?
Aku ialah gadis yang iri pada awan, serta rimbunan daun yang kau cari ketika senja menjelang dan kau merasa ingin duduk damai saja, entah sendiri atau berdua di sudut taman kota itu.
Aku adalah perempuan yang cemburu pada secangkir kopi mu di pagi hari. Begitu lekat menyesap bibir kantuk mu dan tak ingin kau lepaskan secangkir itu, sebab kau begitu candu padanya. Lalu, maukah kau mengizinkan aku menjadi candu mu walau hanya sekejap?
Aku adalah sesuatu yang bisa melindungi punggung tangan yang kerap kali mampir di kepalamu kala  hujan sedang sibuk membasahi rindunya pada dada semesta, saat kamar mandi Tuhan sedang bocor dan tukang ledeng-Nya entah di kemana.
Dan,
Aku adalah rindu yang kerap kali kau bawa-bawa meski kau lupakan aku di dalam sakumu, bahkan hanya di bagasi motor mu saja. Setidaknya, kapan pun kau butuhkan, aku bukan hanya sesuatu berkarat yang kau sisipkan di kotak tua berdebu. Berharap dapat memelukmu dengan teduh, pun dengan kering kerontang.
Jadi, bagaimana? Sudah ingatkah bahwa aku ada? Atau setidaknya aku siapa?

Hal-Hal yang Tak Mampu Disampaikan

Barangkali, kau akan membenci ketidakhadirannya, serupa ia membenci hari ini. hari di mana, ikatannya denganmu telah terganti dengan ikatan baru yang melilit di jemari manismu kini. kau akan membencinya, sebab hari ini ia dengan sengaja menaruh kakinya sejauh mungkin, sejauh yang ia mampu untuk melupa; bahwa usia tak kan selamanya muda, dan kaupun ialah perempuan dengan sebuah pilihan.
di kepalamu, ia adalah laki-laki yang penuh dengan emosi. kau lupa, bahwa laki-lakipun adalah pemilik yang sahih untuk sebuah gengsi. ia mencintaimu, jauh sebelum dunia menyapa kedua matamu; ia mencintaimu, meski ia hanya menjadi cinta pertamamu; ia mencintaimu, meski hanya doa yang mampu untuk memelukmu.
dan kau kini membenci ketidakhadirannya. tanpa mau mengerti, ini tak kan pernah mudah baginya; untuk menerima bahwa kau membagi hatimu, untuknya dan untuk laki-laki yang akan menikmati tawamu setiap harinya. ia bukan laki-laki yang sempurna, namun ia adalah laki-laki yang begitu mencintaimu tanpa mengada-ada; meski tak sekalipun ada kata-kata cinta yang jatuh dari lidah.
tak cukupkah waktu yang ada untuk membuktikan? bahwa kau begitu dicintai melebihi perempuan yang ia nikahi, perempuan yang begitu kauhormati. ia begitu gigih untuk menikahi tawamu selama ini, tak peduli jika malam telah berganti pagi, selama ada nasi dan sekantung tawamu di tiap lembar hari. ia begitu gigih, hingga waktu telah membuatnya menjadi laki-laki yang begitu pelupa; bahwa bahagia pun berusia, dan hidup hanyalah perihal kedatangan dan kepergian. barangkali, di mana kepergiannya, menjadi pintu untuk bahagiamu tiba; dan ia harus mampu tersenyum dengan ikhlas, meski hatinya akan lama berduka.
setelah hari pernikahanmu ini, ia akan kerap berdoa dalam nyanyiannya di gereja; agar bahagia memelukmu selama-lamanya, meski ia tak kan pernah tahu, bahwa kau akan tetap mencintainya melalui lantunan ayat qur’an, dan sujudmu di atas sajadah. bukankah begitu janggal, mencintai dalam diam? dalam diam, kau dan ia akan tetap mencintai diam-diam, dan alam akan merekamnya sebagai karya Tuhan yang tak terdifinisikan.
kau membencinya, sebab kau begitu mencintainya; dan kehadiran, ialah apa yang begitu kau nantikan. ia akan selamanya menjadi cinta pertama yang tak tergantikan, dan kau, akan tetap menjadi putri yang begitu dicinta hingga ia tutup usia.

Pertunjukan Besar



Terkadang kau memilih berdiam diri
Lalu, sesekali meriah dengan canda tawa yang kau buat sendiri
Kemudian, dengan sesuka hatimu berlari-lari kecil dengan hentakan yang lebih keras selanjutnya
Setelah itu kau gaduhkan segala ruangan, tampak berantakan seluruhnya seolah mencari sesuatu namun tak kau temukan.
Akhirnya, kau kelelahan dan kudapati dirimu tertidur pulas di ujung ruangan
Begitu tenang, aku tak mau membangunkan mu, lalu kubiarkan saja kau tetap disana.
Kau ialah sebaik-baik pemeran utama dalam setiap pertunjukan besar di kepalaku.

Pintu yang tak lagi sama.


Aku membuka pintu yang begitu usang. Mencoba mencari-cari sosokmu disana. Mengikuti jejak demi jejak langkah yang kau toreh. Mencoba menulusuri bayang demi bayang yang dulu. Lalu semuanya menuntunku pada satu tempat yang sepertinya tak asing bagiku. Setelah pintu, aku menemukanmu, namun tidak seperti sosok yang lalu. Kau tampak asing bagiku. Tak ada lagi riuh-riuh canda dan tawa yang selayaknya. Tak ada lagi keluh kesah yang terbiasa kau dengar oleh ucapmu. Yang ku temukan hanya segumpal pengabaian atas mu yang begitu dingin.
Diam-diam aku merindukan sosokmu yang dahulu. Rindu itu dimulai sedetik sejak lambaian terakhirmu, atau mungkin pada dasarnya tak pernah ada lambaian.
Rindu itu dimulai sekejap dari saat pesan terakhir yang ku terima.
Dirimu tak lebih dari embun diseberang kaca jendela ku, begitu dekat dan tampak nyata namun tak akan pernah mampu ku sentuh.

Diam-diam aku mengharapkan sosokmu yang dulu mampu mengembalikan tawa yang pernah melengkung manis. Semoga harapan itu tidak menguap bersama sisa-sisa embun di jendelaku.
Tak peduli seberapa jauh jarak diantara kita. Namun, seringkali aku meng-kambing-hitam-kan jarak atasmu. Jarak yang selalu memperparah malam-malamku. Sayangnya prasangka itu sulit.  Menahannya semalaman suntuk hanya meyakinkan diri tidaklah mudah.
Jarak antara prasangka, menebak-nebak jika kamu memikirkan aku seperti aku memikirkan mu. Tanpa ada seseorang yang lain.
Memang benar mereka, jarak tak ada artinya bagi cinta. Ataukah sedari awala kamu tak pernah menghadirkan cinta. Semoga yang merubahmu kini bukan karena jarak.
Aku membuka pintu yang begitu usang, lalu dibaliknya hanya tampak jurang. Aku memberanikan diri menatap dalamnya. Tidak. Jurang itu tak sedalam tatapanmu. Ya, matamu
Namun…
Di dasarnya aku menemukanmu dengan jiwa yang tak ku kenal. Bukan kamu yang dulu
Dan kini, kita hanya sisa-sisa masa lalu yang putus asa



— Teruntuk perempuan yang sedang candu rindu akan sosok laki-laki-nya yang dulu. Jangan lupa bahagia!

Aku cinta Patah Hatimu


Aku tak sengaja jatuh hati padamu
Ketika kau menabur gula pada cangkir kopimu yang pahit dan penuh dengan duka
Lalu menikmatinya bersama dengan foto mantan kekasihmu yang menari dengan orang berada ketimbang denganmu yang masih memegang erat janji-janji setiamu nan suci itu.
Aku tak sengaja jatuh hati padamu
Ketika kau bertanya kepada cermin  usang  juga reot yang sebenarnya malas menjawab tanyamu
Karena wajah mu yang begitu ironi, sembari meneguk air mata yang kau keluarkan sendiri lalu mengalunkan lagu sendu untuk menghibur rindu keparat yang tak segan menampar wajah mu dan memaksamu lari dari kenyataan
Aku tak sengaja jatuh hati padamu
Ketika kau masih memilih berendam dengan air nestapa yang tertuang pada sajak patah hati yang kau nikmati dengan resap sekali.
Lalu, kapan kau akan dengan sengaja jatuh hati padaku?
Bisa saja saat semesta telah berkenan mempertemukan kita di suatu sudut senja yang ranum, lalu kita akan menari dengan sangat indah, hingga lelah, hingga pasrah, hingga semuanya menyerah.
Aku mencintai kerapuhan, juga kegundahanmu.

Senin, 03 November 2014

Seberkas binar matamu untuknya


hal yang begitu sulit tertepis oleh ku meski pahit dalam nyata, yakni mencintai seseorang yang tidak memiliki rasa yang sama. Tidak, kau tak pernah menunjukkan rasa benci, juga rasa sayang. Kerap kali kau hadir dengan jelas di depan mata, namun binary hatiku tak pernah tertembus ke dalam matamu. Sejernih aku melihat air hingga ke dasarnya, namun tidak aku melihat dalamnya perasaanmu. Di saat gundah menyergap dengan gemuruhnya dan segala ingatan perihal janji yang kita ikrarkan kini masih mendengung sejelas-jelasnya, lantas kita akan berpsiah. Ketahuilah, sesungguhnya perpisahan ini bukan saja karena sang waktu, mungkin karena garis takdirnya untuk berakhir. Sebab segala pertemuan sudah seharusnya selalu di iringi dengan perpisahan. Bahkan tak ada pelukan akhir sebelum kita saling menatap punggung saling menjauh. Mungkin detik ini juga, sebenarnya hatimu telah terlebih dahulu menjauh. Ataukah sudah tak tersisa lagi bias-bias cinta yang dahulu? Entah. Semenjak itu aku tak lagi melihat binar matamu untuk ku, namun untuknya.