Kamis, 06 November 2014

Bahkan, sebelum kata terucap


Untuk suatu malam disebuah kota yang kehilangan cahaya, tersebutlah saya sedang bertanya pada langit redup yang tak berbintang, Tidakkah kau merasa kita begitu dimanja takdir? Berjumpa, tertawa, bersedih lalu berpisah. Namun tanpa sadar saling rindu dan enggan untuk menjadikannya satu arau bahkan hanya sekedar untuk berbagi.
Sebab tiadalah hal yang lebih manjur untuk mengobati dinginnya perpisahan selain merindu dan bersabar. Setiap perpisahan selalu menyisakan rasa asing dalam masing-masing kita. Sadarilah, keterpisahan tidak melulu tentang kenangan dan air mata.
Adalah menyadari bahwa pada hakikatnya keterpisahan hanyalah tipu daya waktu . perihal waktu yang tak seorang pun bisa mengatur atau hanya sekedar untuk bermain dengannya.
mempertanyakan mengapa harus ada ‘Perjumpaan’ bila berujung ‘Perpisahan’ adalah sebuah kepengecutan. Lalu cinta, juga kebahagiaan yang mengikutinya bukanlah untuk para pengecut. Ia adalah hjadiah yang di peruntukkan kepada para pemberani. Berani berjuang, berani berdoa, berani mnegikhlaskan, berani mengakui tanpa harus membodohi perasaan sendiri dan tentu berani menanti tanpa pamrih, tanpa harus merasa disakiti. Sebab tak ada kebahagiaan tanpa keberanian, hanya sebagian yang memilikinya.
Sudahlah…ini terlihat seperti omong kosong. Haruskah setengah kehidupanku aku habiskan untuk memikirkanmu? Atau bahkan terjebak dalam ingatan yang melulu tentangmu?
Bila kita merasa takdir tak memanjakan kita lagi. Bila keterpisahan ini bukan tipu daya. Bagiku, rasa itu akan tetap ada. Semoga keterpisahan ini kelak bisa menyatukan kita lagi.

0 komentar:

Posting Komentar