Rabu, 05 November 2014

Halo



Halo untuk mu yang kesekian kalinya..
Terima kasih untuk mu yang tak pernah sekalipun membiarkanku untuk lupa, lupa atasmu. Apalagi untuk melepasmu. Dendam? Tidak. Rindu? Pasti. Bukankah kau sudah tahu, aku  telah terlatih menyimpan rindu untukmu, juga telah tertatih.
Sedari dulu kita telah sepakat atas jarak yang membentang, memilih untuk memelihara  diam yang sesunyi mengkin. Memilih membiarkan luka tetap menganga dan menjadi seburuk mungkin agar kita punya alasan kuat untuk melupa. Lalu apa? Jarak tak ada artinya bagiku. Sunyi hanya meneriakkan rindu, bahkan teriakannya lebih gemuruh dari yang ku lakukan. Sedangkan luka, luka ialah singgasana kita bertukar peluk, dan tempat kita saling menggenggam  sepanjang malam.
Sering aku meracau tentangmu, menyeka rindu lalu keterbangkan ke angkasa. Ku biarkan ia bergabung bersama angan ku yang telah ku terbangkan lebih dahulu. Terpikir oleh benak ku, berapa lama lagi yang kubutuhkan untuk menunggu, menunggu agar mereka jatuh menjadi rintik hujan di dadamu? Aku lelah terbangun dalam tidur ku, dan lagi-lagi harus menemukan kenyataan bahwa kau begitu jauh. Namun diam yang yang ku genggam masih kukuh bersemayam.
Sudahlah, jika aku harus memilih takdir. Aku ingin kita berada dalam satu garis lurus yang sejajar.

0 komentar:

Posting Komentar